Arsip Kategori: blablabla

Tentang Memotong kuku

Sering banget saya becandaan begitu. Ndak cuma sekali atau dua kali, tapi entah berapa kali. Ada mungkin lebih dari tiga kali.

Soal potong-memotong kuku ini memang wagu, tapi bagi saya itu lumayan nganu, bisa dibilang salah satu hal yang krusial. Bagi saya yang tidak kidal ini, memotong kuku tangan kanan itu susah, jauh lebih susah dari memotong kuku tangan kiri. Nah, dengan asumsi kebanyakan orang di sekitar saya tidak kidal, maka saya bisa jatuh cinta pada seseorang yang memotong kuku tangan kanannya dahulu.

Lalu apa hubungannya soal potong kuku dan saya jatuh cinta. Gini, orang –dalam hal ini mb mb– yang memotong kuku di tangan kanan dahulu akan melakukan hal-hal lain dengan mendahulukan yang lebih susah dahulu, dan melakukan hal-hal yang lebih mudah belakangan, ketika dia sudah selesai melakukan hal yang dia anggap lebih susah. Kurang lebihnya, dalam otak saya menganggap dia itu lebih besar kemungkinannya untuk mau diajak bersenang-senang belakangan, mau diajak sedikit kepayahan dahulu, untuk membangun hidup dan penghidupan yang lebih baik.

Iya, Hamid secetek itu.

Pada Roy Sayur Saya Setuju

Tersebutlah seorang teman dari teman saya. Sodara beliau sering dan tenar dipanggil di dunia maya dengan Roy Sayur. Sodara beliau memilih menjadi anonim dan dikenal dengan sebutan Om Roy, Om Sayur, atau Om Terong.

Sama seperti dengan hampir setengah dari teman saya, sodara beliau saya kenal dari Mas Veta. Siapa sebenarnya beliau, mungkin di lingkaran pertemanan saya, hanya Mas Veta juga yang tahu. Saya tidak merisaukannya, karena bagi saya, saya akan mengiyakan siapapun orang itu ingin dikenal. Anonim, pseudonim, atau cagak anim tidaklah saya ambil pusing. Bahkan kalau sampeyan mengaku sebagai seorang perempuan cantik nan bahenol pun akan saya iyakan. Saya amini dan akan saya perlakukan seperti itu. Meskipun di balik perempuan bahenol itu adalah sesosok manusia seseram Ras Arab misalnya. :mrgreen:

Kembali kepada Om Sayur. Sudah cukup lama saya dan beliau menjalin hubungan baik. Selama entahlah, yang jelas lebih lama dari blognya, linimasa.com, yang kini menjadi blog rame-rame beliau dan gerombolannya. Ada yang menarik dan saya sangat suka dengan linimasa.com ini. Dimulai dengan tagline nya yang dengan suksesnya membuat saya jatuh hati.

karena internet butuh lebih banyak hati

Hebat kan? Setidaknya bagi saya. Yang selama ini sudah jarang menemukan konten di internet yang sedikit lebih banyak menggunakan hati dalam membuatnya. Tanpa bertujuan menaikkan rating di Google biar bisa diduitkan, branding, biar di-wah karena menunjukkan kebisaan, ataupun biar tambah tenar macam Donny Verdian. –piss Don! 😆

Iya hati. Sudah jarang betul saya membaca konten yang “menyenangkan” macam linimasa.com, cerita Pak Besar nya mas Wednes Yuda, atau blog nya Gus Vin. Alih-alih saya mendapatkan kengehekan Mas Brewok dan Arman Dhani, kenarsisan Verdian, artikel pengejar tren kekinian ala Iqbal Khan, atau yang lebih parah lagi, tulisan-tulisan ujub masa kini dengan dalih berbagi.

Salah? Sama sekali tidak. Tidak cocok untuk saya? Itu baru, bisa jadi. Buat saya, hal-hal semacam itu bikin sumuk. Dan perlu pengadem seperti si linimasa ini.

Hamid, yang mengangguk setuju pada Roy Sayur dan gerombolannya.

nb: beberapa contoh blog di atas hanyalah ilustrasi belaka, yen ra setuju njuk nesu ro aku ya urusanmu resikoku.

Rengginang Berkaleng Khong Guan

 

khong-guan

Lebaran kali ini sudahkah sampeyan menemui biskuit legendaris bernama Khong Guan? Biskuit yang entah sejak kapan ada di Republik ini. Masa keemasan biskuit ini sepertinya sudah sedikit lewat. Tidak seperti masa jayanya beberapa belas atau bahkan puluh tahun lalu, biskuit ini mulai jarang terlihat sebagai suguhan atau buah tangan di hari biasa. Tapi jangan tanya ketika lebaran. Hampir semua orang punya Khong Guan. Baik yang asli maupun KW.

Lho? KW?

Iya, KW. KW yang saya maksud bukanlah biskuitnya yang palsu, bikinan pabrik atau orang lain, tapi isinya yang menipu. Menipu saya, dan kita semua yang mau ambil biskuit dan sudah terbayang rasa khas Khong Guan nya, setelah dibuka kita harus menerima kalau isinya di luar harapan. Rengginang adalah makanan yang paling sering menjadi isi kaleng Khong Guan. Saya yakin, hampir semua dari kita pernah “tertipu” dengan rengginang berkaleng Khong Guan.

Selamat lebaran, sudahkah sampeyan tertipu kaleng Khong Guan tahun ini?

Balada Bis

Seorang teman, sebut saja Pakdhe Jauhari pernah berujar mengenai bis. Saya memang tidak mendengar langsung ujaran Pakdhe Jauhari itu. Ujaran itu sampai ke telinga saya karena di-rawi oleh teman baik saya Mas Aam. Begitu kurang lebih sanad nya. –Lho. Lhakok malah jadi kaya cah pondok :mrgreen:

Intinya begini, saya mendengar ujaran Pakdhe Jauhari itu tidak langsung, tapi bisa dibilang saya percaya kalau memang beliau pernah berujar demikian. Ujaran beliau itu kurang lebih mengandaikan sebuah keputusan, –dalam perkara ini keputusan hidup– dengan keputusan naik bis.

Lanjutkan membaca Balada Bis

Semacam Surat Terbuka Juga

Sepertinya beberapa waktu ini lagi ngetren pada bikin surat terbuka ya? Ada yang buat capres, ada yang buat pemilik media, ada yang buat siapalah itu lagi. Demi mengikuti tren saya juga akan membuat semacam surat terbuka juga. Istilahnya biar ngeheits.

Saya tidak akan membuat surat terbuka buat capres atau timsesnya? Disamping saya sedikit apatis soal capres-capresan hingga memilih untuk tidak berpartisipasi aktif di perkara ini, saya juga ragu, kalau saya bikin surat terbuka semacam ini bakal dibaca oleh sesiapa –kata apa lagi ini–  yang saya tuju. Jadilah saya mau bikin semacam surat terbuka ini buat teman-teman saya saja. Ada yang mau baca sukur, ndak ya wes lah. Setidaknya tujuan surat saya ini tak muluk. Lanjutkan membaca Semacam Surat Terbuka Juga

Teh, Kopi dan Sebuah Mazhab

Saya besar dan hidup di keluarga yang berwarna warni. Bapak saya orang Jogja, dan simbok saya orang Surabaya. Keluarga bapak saya penikmat teh, bahkan, konon simbah saya pernah membuat usaha peracikan teh di masa awal kemerdekaan. Sedang ibu saya, sebagaimana orang Surabaya pada umumnya adalah penikmat kopi. Mungkin, hal itulah yang membuat saya menjadi suka keduanya. Teh hayuk, kopi juga masyuk.

Mazhab
golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dsb dan yang berusaha untuk memajukan hal itu;

Ketidakikutan saya kepada mazhab teh bapak, atau selera kopi ibu membuat saya “agnostik”.  Saya tidak pernah benar-benar menggemari teh, ataupun menyukai kopi. Meskipun sering kali bapak mengajarkan saya tentang teh yang enak, dan ibu menambah pengetahuan saya tentang kopi yang mumpuni. Meskipun semua itu tentunya dalam versi mereka.

Pertemuan saya dengan para pengikut mazhab minuman ini ternyata tidak hanya sampai di lingkungan keluarga saya. Ketika saya lebih tua, tersebutlah beberapa teman yang masuk kedalam kehidupan saya membawa mazhab mereka sendiri, beberapa cukup “liberal” seperti saya, dan beberapa cukup keras pendiriannya dengan mazhab yang mereka yakini. Tak jarang untuk beberapa hal tertentu, mereka lebih keras dari kaum fundamentalis 😆
Lanjutkan membaca Teh, Kopi dan Sebuah Mazhab

Jakarta: Sebuah Teaser?

Belum lama ini, saya berkesempatan mengunjungi ibu kota. Di episode terakhir yang tidak lama itu, agak berbeda dengan biasanya. Kali ini saya datang untuk “bekerja”. Bukan urusan lain-lainnya. Hhe…

image

Pemandangan itulah kira-kira yang saya lihat dalam beberapa hari saya di Ibukota. Apa yang saya lakukan selama saya disitu? Ya ini, ya itu, macem-macem. Tapi yang jelas, bukan hal-hal penting. Hanya hal-hal kecil saja, kasih semangat ke orang-orang lain yang bekerja lebih serius dari saya misalnya.

Kerjaan yang gak seberapa lama ini mungkin menjadi teaser untuk saya kembali ke ibukota.

Lho? Kembali? Mungkin. Bisa ya, bisa tidak. Saya sangat cinta Jogja, dengan monarki dan kenyamanan hidupnya. Saya pengen banget untuk membangunnya, membuat semacam iklim yang asik di sana.

Saya cinta teman-teman saya. Saya telah memulai beberapa hal, mencoba dan kembali mencoba. Tapi terkadang, jenuh dan jengah menghampiri saya, melihat kenyataan, kalau Jogja terutama sirkel saya, jauh dari harapan saya.

Lalu akankah saya menyerah begitu saja dan kembali (lagi) ke ibukota? Bisa jadi, kita lihat saja nanti.

Hamid, yang menulis sambil geleng-geleng kepala karena Jogja agak sedikit berbeda dengan bayangan di kepalanya.

Tentang Tomat; Sebuah Post Untuk Seorang Teman

Seorang Jurnalis Inggris bernama Miles Kington pernah berujar:

“Knowledge is knowing that a tomato is a fruit. Wisdom is knowing that a tomato doesn’t belong in a fruit salad.”

Sederhana memang, tapi akan menjadi agak sedikit rumit penerapannya di kehidupan sehari-hari, terutama ketika sudah tidak menyangkut tentang tomat yang ndak jelas identitasnya. Apakah harus dipaksakan menjadi sayur, sementara secara de jure –halah dia itu buah.

Tak banyak yang sudah tahu, atau berkesempatan tahu kalau tomat itu masuk dalam kategori buah-buahan, karena sudah anggapan hampir semua orang bahwa tomat itu adalah sayur. Satu dua dari kita mungkin mendapat kesempatan untuk tahu kalau tomat itu adalah buah, tapi toh memaksakan bahwa tomat adalah buah ke orang-orang  yang sudah terlanjur beranggapan tomat itu sayur tidak selalu menjadi hal bijak.

Buat apa? Adalah pertanyaan yang paling mendasar. Supaya orang-orang tahu kalau kita berpengetahuan lebih luas? Apa manfaatnya kalaupun pada akhirnya orang mengakui kalau pengetahuan kita lebih luas. Pol mentok ada sedikit rasa bangga karena kita berbeda. Begitu? Atau, kita menjadi lega karena telah menyelamatkan orang dari kesesatan karena menganggap tomat itu sayur?

Cukup besarkah manfaat sesudahnya? Hal itulah yang menjadikan bahan pertimbangan. Kalaupun iya, ya mau bagaimana lagi, lakukan! Kalau tidak, toh itu cuma tomat. Tidak akan ada yang tersakiti dengan menganggap tomat itu sayur.

Hamid, yang sadar bahwa kata-katanya sedang belepotan, tetapi merasa perlu untuk menyampaikan perkara tomat yang terlanjur menjadi sayuran.

Yang Terhormat Kaos Swan

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menjanjikan untuk menulis tentang kaos Swan pada Om Sayur berdasar sudut pandang saya. Dan, baru sekarang bisa kejadian saya memenuhi janji saya.

Kaos Swan, beberapa dari kita mungkin lebih akrab dengan merk Jupiter hingga tak jarang pula yang lebih nyaman menyebutnya dengan kaos Jupiter. Adalah kaos tipis yang adem dipakai. Karena keademannya ini, banyak orang menjadikannya sebagai kaos dalam, atau kaos untuk dipakai di rumah. Bentuknya tidaklah istimewa, bahkan entah kenapa karena ketidak istimewaan si kaos ini, banyak yang bilang kaos ini bukan kaos yang pantes untuk dijadikan kostum bepergian.

Tapi, dari sekian banyak pandangan miring kaos swan, kaos ini adalah kaos yang sungguh nyaman. Hingga di penghujung hari, bersantai bersama kaos swan adalah oase di tengah kegersangan perjuangan bertahan hidup.

Di penghujung hari, bukan jas, baju sutra, atau macam-macam adibusana yang membuat orang berdecak kagum yang akan kita cari, tapi hal yang menyamankan, seperti kaos Swan.

Hamid, yang menulis karena Roy Sayur, dan menjadikan tulisan ini ode untuk calon pendamping masa depan, yang datang entah kapan.