Arsip Kategori: Grmbl Grmbl

Berang-berang selalu sibuk. Ia terus menerus membangun, bahkan setelah bendungan dan tempat tinggal mereka sendiri sudah rampung.

Sayangnya, kita tak pernah tahu, apakah sebenarnya si berang-berang itu peduli pada yang mereka sayangi, mengalihkan pikiran dari yang mereka benci, atau hanya terobsesi –dengan bendungan…

Hae berang-berang (:

Lagi Lagi Soal Periuk Nasi

Jangan mengganggu orang yang sedang cari makan kalau kamu tidak ngasih makan ke mereka

Mungkin dari kalimat itulah tulisan ini akhirnya terbit. Sebuah kalimat pembenaran atas apa yang mulai jamak dilakukan orang-orang di sekitar saya. Yang jujur saja, saya kurang suka.

Setelah kalimat itu, seringkali terjadi kesimpulan, kalau gak suka tinggalkan saja. Dan itu sungguh, jauh lebih menyebalkan daripada kalimat pembenaran itu. Satu hal yang sama sekali tidak konstruktif. Malah bisa jadi merusak. Apa saja, ya suasana, ya pertemanan, ya tujuan bertukar pikiran. Pikiran dan pendapat saya tidak bisa tersampaikan dengan semestinya, pun pemahaman yang menjadi keliru atas apa yang sebetulnya akan saya sampaikan.

Lanjutkan membaca Lagi Lagi Soal Periuk Nasi

Jogja, Kaefsi, Dan Inflasi

Saya tinggal di Jogja buat waktu yang lumayan lama, mulai dari Kotamadya nya yang sekarang berubah jadi Kota yang sudah kehilangan embel-embel madyanya. Mulai dari nyaman bersepeda atau bermotoran di jalan, sampe sekarang, yah begitulah.

Sepertinya belum lama saya melihat rombongan pesepeda dari Bantul menuju Kota Jogja di pagi hari, dan sebaliknya di sore hari. Belum lama juga, saya diajak ibuk buat nyoba bis kota jalur 11 yang lewat depan rumah lama kami dulu, hanya untuk jalan-jalan dan kembali ke tempat yang sama. Sepertinya, belum lama juga saya nggumun –heran– dengan moda transportasi bernama taksi. Yang menggunakan mobil Ford Laser, mobil yang sungguh wow kala itu. Ademp! Ada AC nya! Ndak kayak Fiat 1100D punya bapak saya itu. Yang meskipun ada AC nya, tapi kependekan dari Angin Cendela.

Sepertinya belum lama juga, saya berada di kota yang adem. Tidak sepanas ini. Jalan-jalan masih terasa lebar. Dan kota ini sungguh mahsyur dengan biaya hidup rendah. Kebanyakan orang tidak bisa menjadi kaya di kota ini. Meskipun tidak perlu keluar uang banyak untuk sebuah apa yang disebut hidup layak.

KFC, adalah restoran ayam goreng yang sungguh mewah. Prestis. Makhal. Setidaknya bagi ukuran saya dan keluarga saya. Makan di tempat ini bisa jadi tiga atau empat kali lebih makhal dari makan di tempat biasa. Lanjutkan membaca Jogja, Kaefsi, Dan Inflasi

Selamat Ulang Tahun!

Tiup lilinnya. Tiup lilinnya. Tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga… Sekarang juga…

Bukan, bukan saya yang berulang tahun. Bukan juga seseorang yang dekat atau spesial buat saya. Yang berulang tahun adalah status pengangguran saya :mrgreen:

Juni tahun lalu, saya memulai profesi saya sebagai pengangguran paruh waktu. Ketika ada satu dua hal yang terlalu rumit untuk saya ceritakan disini, saya memutuskan untuk berhenti bekerja.

Sejak itu, saya mengalami semacam petualangan hidup. Hidup jadi lebih menarik. Banyak kejadian nyenengin, meskipun tak kalah banyak juga yang pahit. Puol pahitnya! Ya ini, ya itu. Macem-macem lah. Warna-warni kek sampel warna toko cat. Tak terhitung berapa php –pemberi harapan proyek– sudah saya alami. Beberapa tawaran pekerjaan yang karena kekeras kepalaan saya, dengan terpaksa saya tolak. Ada juga beberapa hal yang membuat saya sedikit bisa tersenyum. Gak melulu getir memang. Meskipun sebagian besar 😆

Dan, disinilah saya sekarang, masih hidup. Didekat beberapa teman yang sungguh istimewa luar biasa sabar menghadapi saya.

Hamid, yang mengacungkan jari tengah pada apa yang mereka sebut keadaan. Pak yuh!

LANtip Mengungkapkannya Dengan Istimewa

Bukan, bukan. Ini bukan soal LAN ataupun networking. Tapi ini soal teman saya, Mas Rony Lantip.

Beliau mengungkapkannya dengan bagus sekali apa yang menjadi ketidaksregan saya. Dengan pembukaan yang bagus sekali, juga dengan cara yang sungguh tidak keras dan menyebalkan seperti saya maupun DiVi.

Sering saya menganalogikan hal ini dengan media sosial sebagai ekosistem hutan, dan para penghuninya sebagai pemegang hak atas hutan itu. Pemegang hak bisa saja tetap puritan dan memelihara hutan mereka agar tetap hijau, nyaman ditinggali dan memberikan manfaat bagi orang lain meski itu tidak secara langsung. Atau, mereka bisa mengubahnya menjadi perkebunan sawit, atau tambang emas sekalipun bila ada dengan pledoi soal periuk nasi.

Hamid, yang kembali membaca Tulisan Mas Lantip sambil mengumpat pada Ismet dan Seseq.

Berita Buruk Untuk Penyampai Berita Buruk

Sebenere ndak tahu judul itu pas atau ndak. Tapi daripada ndak nulis nulis, jadilah saya memilih judul itu. Soal tepatnya? Ya entah.

Saya sebenere cuma mau curhat dan ngomongin soal, kenapa sih budaya asal sampeyan seneng –beberapa orang, terutama yang tua tua juga menyebutnya dengan asal bapak senang– ini menjamur kronis? Padahal ini sebenarnya tidak bagus buat si bapak –bisa juga ibu, tante, om, mas mbak atau apapun, simplifikasi saja– itu sendiri? Dan cilakanya, kalau si bapak itu pengambil keputusan, akan berimbas ke tempat dimana beliau diharapkan mengambil keputusan.

Lha mau bagaimana lagi? Bukannya kebanyakan kita lebih senang yang bagus-bagus? Berita bagus apalagi afirmatif selalu lebih menyenangkan untuk didengar. Sedang kepada berita buruk, seringkali arogansi dan ego kita mengambil alih. Dengan sekuat tenaga akan menyangkalnya.

Sering terjadi pada saya juga
Hal begini, sering terjadi pada saya juga. Ketika saya dipercayai pekerjaan, yang dengan segala keterbatasan analisa dan pemrosesan otak saya, mengatakan itu tidak atau belum mungkin.

Mas, tolong dibikinkan begini begini begini, supaya nanti bisa begini begini, anggarannya sepuluh ribu termasuk fee sampeyan

Beberapa hari kemudian, saya datang dengan jawaban…

Ini tidak mungkin dijalankan dengan hasil seperti yang dikehendaki karena begini begini pak. Daripada rugi sepuluh ribu, mending kita pakai cara lain, atau kita tunda. Soal fee saya, saya manut saja

Alih-alih dapat bayaran buat sekedar ganti bensin sama jam-jam saya kurang tidur, seringkali saya malah mendapat jawaban

Bilang saja kalau tidak mampu, saya akan cari orang lain yang lebih bisa diandalkan dari sampeyan

Meskipun akhirnya pekerjaan itu dijalankan orang lain yang bilang bisa dan bisa, dan seringkali saya benar, kalau ujung-ujungnya akan gagal, sekali lagi ego membuat mereka tidak datang lagi pada saya. Mungkin, tidak pernah datang lagi malah.

Dan sayapun masih laper, dan mereka rugi. Lebih banyak dibanding ngasih duit pada sontoloyo pembawa berita buruk ini.

Hamid, yang baru sadar kalau berita buruk adalah berita bagus, hanya berlaku di tukang berita.

Dua puluh Mei dua ribu tiga belas.

Orang bilang hari ini hari kebangkitan nasional. Saya bilang hari ini adalah deadline bayar utility bills dan duidnya sama sekali belum kepegang.

Sementara itu, jalan masih panjang. Masih butuh ya ini. Ya itu. Buat menjadikan sesuatu.

Bangkit apanya? 😆 😆 😆

Soal Kelanjutan

Hari ini masih selo. Blahbloh seperti biasanya. Wacana sudah satu persatu dikerjakan. Tinggal entah nanti akhirnya menghasilkan atau cuma tinggal wacana kek biasanya.

Dalam ke blahbloh an saya ini, saya mulai berpikir. Lalu bagaimana kelanjutan hidup saya? Apa mau gini-gini saja? Apa mau yang lain? Mau apa sih sebenarnya? Entahlah. Saya juga gak ngerti sama diri saya sendiri.

Akhir akhir ini bahkan saya agak gak berani punya kemauan atau mimpi. Semacam kapok ditroll sama kahanan. Berencana ya ini ya itu. Berusaha sebaik baiknya. Jalan ini jalan itu. Tapi kok ya ndilalah hasilnya kadang begitu begitu saja. Kadang malah lagi-lagi wacana.

Kusut ya tulisannya? Iya, sekusut hati dan otak saya di siang yang panas ini.

Nine Months Madafaka!

It’s been nine months and here I am, still somewhat unemployed. But hey! I still alive, and trying to kickin! 😆

It’s kinda hard being unemployed for quite long time. Imagine how hectic my days. Manage this and that, tried this and that. And ah well, there’s a routine headache when the date is near twenty. All hail utility bills!

But, it’s nice to have few good people around me. They help me a lot by giving me something to do. It’s not much, not what I expect, but surely they’ve save my ass many times.

Hamid, someone who can’t use proper English. But somewhat uncomfortable using his native language for swearing.