Tahun Yang Entahlah

Sudah di ujung tahun ternyata. Hari ini hari terakhir tahun 2014. Kalau jadi, besok sudah 2015. Apa yang terjadi di 2014 bagi saya? Entahlah, tahun ini sungguh tahun yang entahlah buat saya. Dibilang bagus ya ndak begitu, dibilang rhemook ya kok keknya nggak mensyukuri banget yah? Mbuhlah. Tapi yang jelas, kurang lebih beginilah 2014 in a nutshell kalau londho bilang.

Love, Live, Life

Souvenir
Bukan Hamid saya lho ini…

Tahun ini, sungguh entahlah bagi ketiga hal itu buat saya. Love? Masih gitu-gitu aja, terjebak di permasalahan yang sama bertahun tahun. Berapa tahun? Entahlah, sepertinya saya mulai berhenti ngitung jumlah tahun keribetan saya perkara lope lope an ini. Akhirnya ya wes lah, pasrah mengalir saja kek air kali. Bagemana nanti sajalah perkara lope-lopean.

Soal dua L yang lain, orang bilang, live your life. Sa berusaha begitu, meskipun kadang ujungnya mbladhus dan cuma bilang asu! Beberapa kali di tahun yang entahlah ini sepertinya, piye ya? Kalau kata lagu, I don’t wanna die, but I ain’t keen on living either. Sekali lagi hanya bisa bilang mbuhlah, alias entahlah.

Seek Six Sick –bukan nama band

Lelah
Saya lelah…

Tahun ini, hidup saya juga diwarnai tiga hal itu. Seeking for earnings, almost haven’t found it for almost six months earlier this year, dan ditutup dengan I was sick, quite serious. Duh mak…

Fun, Friends, Fucked up

Tahun ini meski banyak ruwetnya, bisa dibilang tahun yang menyenangkan, tahun yang lucu. Dengan dukungan banyak teman baik, saya sampai juga di penghujung tahun. Salah satu yang selalu mendukung meskipun dengan cara yang wagu adalah Papah Lemon dan Mamah Lemon. Pasangan wagu yang selalu bilang: jangan mati dulu.

Beberapa teman sungguh menjadi dukungan yang tak terkirakan. Tapi, beberapa justru fuck me up dengan cara mereka yang lucu-lucu. Ada yang tukang pehape, ada yang datang kalau lagi butuh thok, ada yang ngambekan ketika saya memperlakukan mereka seperti mereka memperlakukan saya. Wagu wagu lucu lah pokoknya.

Dan intinya adalah…

Se entah entahnya tahun ini, se wagu wagunya tahun ini, tahun ini tahun yang lucu buat saya. Semoga, tahun depan jadi tahun yang lebih lucu dan menggemaskan, dengan cara yang menyenangkan. Bukan lucu yang bikin misuh! :mrgreen:

Ngrowot

Beberapa waktu yang lalu, sa sudah menuliskan tentang keribetan-keribetan terkini yang saya alami. Kheses soal keribetan yang berhubungan dengan badan, saya mendapati vonis Dokter yang agak kurang mengenakkan. Saya harus memperingan kerja organda(lam) saya seperti jantung dan sekitarnya. Cara memperingan kerja mereka? Ya dengan mengurangi “luas penampang” tubuh saya. Dengan mengurangi luas penampang itu, kerja si organ organ dalam ini akan lebih enteng, dan pelan-pelan kesehatan saya hampir bisa dipastikan akan lebih cepat membaik.

Permasalahan muncul ketika, saya oleh Pa Dokter dilarang melakukan aktifitas yang terlalu berat dahulu. Jadi semacam olahraga lari, jalan, sepedaan jauh, dan apa itu namanya? Kalau orang ibukota kekinian bilang ngegym? Tidak boleh saya lakukan (dulu).

Lha terus gimana Dok?

Mulai dengan diet kata Pa Dokter. Mulai kurangi makan, kalau perlu sehari sekali saja makan berat. Selebihnya makan sayur dan buah yang banyak serat dan kurang karbo kalau berasa lapar. Buah-buahan seperti apel, itu bagus untuk hal ini. Begitu kata beliau Pa Dokter.

Wah, pe-er banget ni. Apel kan barang yang tidak murah, hal yang cukup mewah buat keseharian saya? Kemaren nyoba dua hari saja dah ampun-ampun lihat pengeluaran buat beli si apel ini. Beruntung, saya punya teman baik eks dulu sekantor bernama Mas Adhi. Selain juwara soal IT IT an, ternyata sodara beliau juga banyak tahu hal lain, termasuk soal nutrisi dan diet. Sodara beliau bilang, ganti saja apel yang mahal itu dengan pisang dan pepaya yang jauh lebih murah bahkan bisa hrates kalau kita atau tetangga banyak yang nanam :mrgreen:

Nah, selain saran dari Mas Adhi tadi, entah kesambet apa siang tadi ketika termangu-mangu mikir biaya yang lumayan eksotis buat keribetan sakit saya ini, saya teringat lelaku ala pesantren bernama ngrowot.

Ngrowot? Apa itu? Ngrowot gampangnya adalah laku keprihatinan dengan tidak memakan nasi. Sebagai gantinya, ubi-ubian dan talas dihidangkan sebagai makanan pokok. Penggantian nasi yang diolah penuh dengan campur tangan makhluk, dengan hal yang lebih “alami”, mengurangi ketergantungan kepada makhluk dan lebih semeleh pada apa yang ada. Laku ngrowot ini biasa dilakukan di pesantren ketika menderas/mengaji kitab, terutama kitab-kitab salaf.

Wha ini. Cocok, ubi, singkong, dan antek-anteknya tidaklah mahal, dan konon lumayan rendah karbohidrat. Pas buat kahanan dan kantong saya yang masih lumayan babak belur buat rawat jalan kemarin. Murah, lumayan terbukti, dan hampir tidak ada efek samping buat saya kecuali saya akan sangat terlihat NU. Nahdliyin banget :mrgreen:

Hamid, yang sedang mempertimbangkan serius untuk ngrowot

Lagi Semacam Ribet

Halo. Apa ya?

Sa ndak mau nulis atau ngrasani tentang sesuatu kali ini. Sa cuma mau kasih alasan, kenapa jarang nulis blog dan sedikit lebih jarang terlihat di mana-mana.

Jadi begini ceritanya, sekitar sebulan dua bulan ini sa lagi sedikit tidak selo. Disamping berjibaku melawan tanggal 20 seperti biasanya, sa juga lagi ada tambahan gawe. Berjibaku melawan badan. Badan sa lagi kurang enak. Dan kurang enaknya badan ini tampaknya agak serius kali ini.

Sa mesti bolak-balik ke berbagai fasilitas kesehatan. Mulai dari Puskesmas Kecamatan –ya, semua harus dimulai disini kalau mau gratis atau minimal biayanya lebih terjangkau, ke RS milik pemerintah, balik lagi ke Puskesmas, dan akhirnya Dokter Puskesmas menyarankan saya untuk berobat ke Dokter kenalannya di RS PKU Muhammadiyah karena tampaknya kurang puas dengan hasil diagnosa dan pengobatan dokter pertama –dan ini besar kemungkinan gak masuk tanggungan asuransi pemerintah kota yang saya ikuti.

Dan benar saja, hari Jumat lalu, saya mendapati vonis kassa yang bagi saya lebih menyeramkan dari vonis Dokter. Kurang lebih dua minggu pendapatan mesti direlakan. Untungnya, saya diberi semacam surat pengantar untuk meminta reimburse sebagian biaya yang tidak masuk langsung dalam pertanggungan asuransi pemerintah kota. Seberapa dan bagaimana mereka akan reimburse? Entahlah, saya juga kurang jelas. Besok Senin rencananya baru akan saya coba bawa ke Dinas Kesehatan di Balai Kota.

Kalau keadaan seruwet begini mau ngeblogkan soal apa coba? Lagi ndak ada waktu untuk mengeluarkan pendapat yang kadang malah berujung protes ini itu atau malah ngrasani si itu atau itu. Lagi mumet srii…

Hamid, a boy with bigger body and slightly bigger heart (for now).

Jogja Kudu Didol

Beberapa lama ini sedang ramai diperbincangkan perkara Jogja ora didol. Jogja berhenti nyaman dan berjogja-jogja lainnya. Uraian lengkap mungkin bisa dilihat di postingan blog salah satu teman saya ini.

Bagi saya sendiri, saya tidak sepenuhnya setuju dengan gera’an semacam Jogja ora didol ini. Bagi saya, Jogja justru kudu didol!

Lho? Kok sangat berbeda? Mau cari tenar dengan cara anti mainstream ya? Dibilang begitu juga boleh. Tapi sebelum saya dibilang begitu, kalau mau. Kalau mau ni… Saya tak ngomongke sebab e apa dulu Jogja kudu didol!

Jogja kudu didol!

Kalau tidak, andalan Jogja apa coba? Jogja ini ndak punya kekayaan alam berlimpah macam propinsi-propinsi di luar pulau Jawa. Tambang? Paling ya cuma mangaan dan pasir besi. Batu atau logam mulia? Sepertinya belum ditemukan. Seandainya sudah pun saya percaya skalanya kecil, sampai saya yang Wong Yoja sendiri ndak dengar perkara itu.

Jogja juga bukan Kalimantan Barat, Batam, atau justeru Singapura yang bisa menjual kestrategisannya untuk menambah pundi-pundi. Jogja ada di garis pantai laut selatan, yang ombaknya pun terkenal agak nggilani untuk ukuran kapal yang tidak biasa berlayar di pantai selatan. Ha njuk piye?

Sementara kalau ora didol, darimana orang-orang Jogja kebanyakan bisa dapet duid? Tidak semua berbakat ajaib dan menjadi seniman yang bagai tangan Midas, semua yang disentuh menjadi emas. Banyak orang-orang biyasa yang penuh perjuangan untuk sekedar menaikkan harkat diri, menaikkan kelas sosial untuk hidup dan penghidupan yang lebih baik.

Orang-orang kaya baru setelah Jogja didol

Kalau sampeyan-sampeyan pernah ke Jalan Imogiri, baik barat maupun timur, banyak sekali usaha-usaha baru yang menghasilkan orang-orang kaya baru, yang tak urung juga membawa manfaat bagi orang-orang di sekitar tempat usaha mereka. Tak kurang dari kerajinan kayu dan batu, box-box untuk bungkus dan pengiriman, sampai jasa tukang kirim via container atau freight forwarder. Semua itu bisa terjadi setelah “Jogja didol”.

Konon lagi, beberapa dekade lalu, di sebuah desa bernama Kasongan, banyak pengrajin gerabah yang hidupnya begitu-begitu saja, sampai seseorang yang bernama Saptohoedojo mengajari mereka “dodolan”

Bagi sampeyan-sampeyan yang sering main ke daerah Gabusan Manding atau Tembi, tentunya sampeyan tahu atau minimal pernah mendengar londho bernama Mister Warwick. Warwick Purser lebih tepatnya. Si Mister ini turut membangun Desa Tembi dengan caranya. Lagi-lagi dengan mengajari “dodolan”.

Kudu didol, ning piye adole?

Nah itu, lagi-lagi nek menurut saya lho ini. Jogja pancen kudu didol, mung piye adole, itu harus dipikirkan baek-baek. Apa dengan cara instan seperti sekarang? Membuka seluas-luasnya kesempatan buat investor tanpa mempedulikan warganya sendiri? Sampai ada istilah, nek mangsa udan ketiga angel cawike, nek mangsa rendeng angel ndodoke. Yang kurang lebih artinya: kalau musim kemarau susah ceboknya –karena kehabisan air, dan kalau musim penghujan susah jongkoknya –karena banjir dimana-mana.

Atau, seperti Saptohoedojo dan Mister Warwick, dengan memperbaiki satu dua hal lantas “memasarkan” hal-hal baik tentang Jogja. Pariwisata, seni budaya, apa sajalah. Dengan warga yang tetap merdeka dan jadi lebih kaya.

Hamid, membayangkan Jogja didol dengan manis seperti negara-negara tetangga.

Laron

Sebenere, ini bukan saat yang pas bagi saya buat memposting sesuatu di blog. Masih giduh sana-sini dan entahlah, saya sendiri malah bingung harus mulai memberesinya dari mana… :mrgreen:

Tapi ndaktau juga, kenapa saya pengen banget ngepos soal laron ini. Epada tahu laron kan ya? Laron adalah sejenis binatang dari keluarga rayap. Mungkin tepatnya rayap yang bersayap. Sayapnya biasanya tidak awet, gampang sekali putus. Biasanya keluar di pagi atau sore menjelang malam hari. Merekaselalu mencari cahaya, mencari tempat terang dan mengacuhkan hal-hal redup di sekitarnya.

Reduplah, si laron bakul acuh tak acuh sama sampeyan, beri mereka cahaya, sampeyan akan didatangi meskipun hanya untuk mati.

Ngepost blog ah, jadi kalau ada yang nanya kapan terakhir posting? Bisa dengan bangganya kujawab: hari ini!

Apa we? Apa we?

Yang Terlewatkan

Beberapa hal telewatkan dalam hidup saya. Karena kekeras kepalaan dan kadang faktor eksternal macam php –pemberi harapan proyek–. Entahlah, sa mesti ngumpat dan bilang asu, atau tertawa saja. Atau mungkin kedua-duanya.

iPhone 4S (bukan yang lebih baru, atau lama), Braun Buffel calf, Converse Jack Purcell, Kacamata minus bulat yang udah lupa apa merknya, NOKNbag edisi NOKNJam bareng Hendra Hehe, DP rumah sebelah barat pom bensin Bugisan, ngelamar anak orang, dan seterusnya dan seterusnya…

Banyak hal tidak bisa saya dapatkan nanti-nanti karena yah, mungkin sudah ndak diproduksi lagi, atau apalah semacam itu. Yang jelas kesempatan itu terlewat begitu saja. dan hampir bisa dibilang, ndak akan lewat lagi. Menyebalkan, tapi mungkin ini yang namanya belum jodoh.

Mbuhlah… menerawang

Muhammad NU

Konon besok adalah Idul Adha bagi beberapa yang memilih merayakannya hari Sabtu. Beberapa lagi, yang ikut versi pemerintah memilih merayakannya hari Minggu. Beberapa orang menyederhanakannya dengan versi Muhammadiyah, dan versi NU yang biasanaya merayakan di akhir. Meskipun tidak sepenuhnya tepat, tapi bolehlah kita anggap saja begitu.

Hal kecil semacam perbedaan pelaksanaan hari raya itu, kadang dibesar-besarkan oleh beberapa orang yang so called militan. Hal yang sebenere bukan masalah bisa jadi masalah. Minimal ejek-ejekan, sindir sindiran dan semacamnya. Hal yang sebenernya tidak perlu.

Saya bersyukur, hal semacam itu tidak terjadi di keluarga saya. Meskipun keluarga saya macem-macem ada yang menganut aliran tertentu, dan ada juga yang berbeda. Almarhum pakdhe saya misalnya, adalah pengurus Muhammadiyah yang sering sedikit berbeda pendapat dengan NU, sebuah ormas yang dianut oleh pakdhe saya yang lain. Kedua pakdhe saya itu tidak membesar-besarkan perbedaan pendapat dan tafsirnya. Mereka saling menghormati satu sama lain.

Di suatu kesempatan Idul Fitri yang berbeda hari pelaksanaannya, keluarga saya ikut merayakan keduanya. Bagi yang percaya kalau Idul Fitri belum saatnya tiba, biasanya mereka membatalkan puasanya dan menggantinya di lain hari. Jadi, masih tetap bisa turut merayakan dan berbahagia meskipun berbeda. Di hari Idul Adha macam ini, yang merayakan lebih dulu akan berkurban di hari esoknya. Karena toh esoknya masih hari tasyrik, hari dimana masih diperbolehkan untuk takbir dan melakukan kurban.

Tidak usah pakai ribut, jalani saja sesuai kepercayaan dan kemantepan masing masing, dengan tetap saling menghormati dan tidak saling menghakimi. tanpa setengahnya bilang, koe ki salah, sing bener ki aku!

Selamat Idul Adha dari kami penganut Muhammad NU, Muhammadiyah sekaligus NU.

Menua Sebelum Waktunya

Hari itu, Jum’at yang biasa-biasa saja.

Saya berangkat ke Kantor Agraris yang depannya ada pohon mangganya itu, kasih makan kucing, ganti air minumnya dia, say hae sama Pak Yo tetangga sebelah yang jualan bakso, ngeteng rokok di warung sebelahnya lagi, dan seterusnya dan seterusnya. Semua tampak biasa-biasa saja, sampai kira kira sehabis ashar. Entah kenapa tiba-tiba pandangan menggelap, suara meong si bayi kucing kumpeni memelan. Dan sayapun memutuskan untuk pulang.

Nganggo leren buos!

Macam begitulah bercandaan teman-teman saya kalau ada yang terlalu sibuk. Tak kurang dari Iqbal Rasarab dan Rifqi Merembablas sudah kena becandaan ini. Dan ironisnya, saya adalah salah satu yang sering ngejeki mereka supaya nganggo leren. Yang kurang lebihnya dalam bahasa Indonesia bisa diartikan. Jangan terlalu sibuk, istirahatlah sebentar.

Lhakok malah sekarang saya yang kena? Padahal saya ndak sibuk-sibuk amat. load kerjaan hampir bisa dibilang selow, tapi kok ya bisa sampai segitunya. Mungkin karena pikiran saya banyak, mesti akrobat otak dan hati melawan keadaan yang tampaknya kurang bersahabat bagi saya akhir-akhir ini, atau mungkin sesuai judul tulisan ini, saya menua sebelum waktunya.

Kini, dua hari setelah dipaksa leren itu, saya masih menolak buat dibawa ke fasilitas kesehatan apapun. Takut soal biaya? Itu satu hal, meskipun ada penemuan manusia bernama asuransi, saya masih belum sepenuhnya percaya asuransi. Belum percaya kalau mereka mau ganti pengeluaran saya tanpa alasan-alasan yang funky. Hal lain adalah, saya takut ketahuan penyakitnya :mrgreen:

Berita bagusnya, hari ini saya sudah mendingan, buktinya sa sudah bisa nulis blog nan tidak penting ini, meski dengan sangat terpaksa saya masih mengacuhkan Email, Telepon, SMS, juga Whatsapp dan ber IM IM lainnya. Padahal sa masih punya utang tanggungan ke beberapa orang, seperti ke Mas Wisnu misalnya, yang saya sanggupi buat ngutak atik bareng server sebuah media di Jakarta. Hal yang saya sanggupi tepat beberapa saat sebelum pandangan saya mulai menggelap itu. Maap ya koh 😆

Ah iya, buat sesiapapun yang merasa berkepentingan sama saya, mohon maap banget yah, “toko” dibuka lagi besok siang.  Sa masih pengen leren, baik hati, pikiran maupun badan.

Jalan Wonosari, Salah Satu Kebahagiaan Bapakku Yang Baru Kumengerti

Entah kenapa kali ini pengen banget nulis soal bapak saya. Iya bapak saya yang hampir seumur hidup saya tidak pernah benar-benar saya mengerti. Sampai beberapa saat lalu ketika saya mengalami sendiri sebuah kebahagiaan kecil yang bisa dibilang hampir sama sebab musababnya dengan kebahagiaan bapak.

Bapak dan besi tua

Syahdan, di tahun 70 an, ketika umur bapak saya menjelang 30an, bapak merintis bisnis mesin bekas dan besi tua. Utamanya motor dan mobil. Motor dan mobil yang sudah tidak terawat di empunya, dibeli dengan harga murah oleh bapak, lalu didereklah si motor atau mobil itu ke rumah.

Dicobalah motor dan mobil itu dibenahi oleh bapak, kalau sekiranya tidak bisa atau terlalu mahal untuk dibenahi, motor atau mobil itu akan “disembelih” oleh bapak. “Disembelih” di sini berarti dicopoti satu per satu untuk kemudian dimodifikasi atau dijadikan spare part bagi yang membutuhkannya. Sedang bagian-bagian yang tidak tertolong, akan dikilokan sebagai besi tua. Mesin-mesin yang masih lumayan bagus, kadang dimodifikasi oleh bapak untuk dijadikan mesin kapal nelayan. Entah bagaimana bapak bikinnya, saya juga tidak tahu :mrgreen: Lanjutkan membaca Jalan Wonosari, Salah Satu Kebahagiaan Bapakku Yang Baru Kumengerti