Arsip Tag: daily

Satu Tahun

Harusnya hari ini satu tahun di ibukota sih. 20 Desember tahun lalu, saya diajak buat bantu-bantu #kepalasuku di sebuah perusahaan hape.

Tapi, ternyata, gak sampe satu tahun saya bekerja di situ. Dan sekarang balik lagi ke nDesa, membantu Den Mas Lantip. Membantu apa? Anggaplah nanam jagung, dianggap begitu saja lah. Saya juga ndak keberatan kok. Hepi malah. Hihihi.

Jadi, di Jakarta, ibu kota endonesa ngapain wae? Ya banyak lah. ya ini ya itu. Ya kerja, ya magabut, ya main. Agak beribet buat diceritakan. Happy? Somewhat. Ketemu banyak orang baik, teman, keluarga, sampek tetangga di sana. Gak happynya cuma berat diongkos. :mrgreen:

Eniwei, minta doanya ya temans, semoga hidup saya tansah barokah šŸ™‚

Sebelas

Sebelas bulan, waktu yang bisa dibilang lama, kurang sak encritan sudah bisa disebut satu tahun.

Sebelas bulan, saya melihat kumpeni tempat saya bekerja berkembang dengan lumayan. Ā Hampir tiap hari ada perekrutan karyawan baru di tempat saya bekerja, hingga mulai banyak orang-orang baru, yang mulai tidak kenal satu sama lain. Kumpeni yang waktu saya datang pertama kali gak begitu jauh beda dengan ruko, sekarang sudah mulai membangun gedung baru yang jauh lebih luas.

Sebelas bulan, saya numpang hidup (lagi) di Jakarta, bertemu banyak teman baru, maupun bertemu teman lama (lagi). Berbagi cerita seneng maupun susah, yang tak jarang membuat tertawa, meringis, dan kadang hampir menangis.

Matur nuwun, Jakarta! Sampeyan memang gila…

Kedutaan, Jalan Kaki, dan Jalan Aspal

Malam Minggu, dua harian yang lalu, cukup cerah, dan daripada menjadi gila pelan pelan, saya putuskan sahaja pergi ke keramaian kota, karena sekalian ada urusan disana.

Urusan pertama saya adalah ke sebuah kantor di bilangan Gambir, sekitaran Monumen Nasional. Urusan yang simpel, dan gak butuh waktu terlalu lama. Hanya sekitar setengah jam saya berurusan di situ. Selesai urusan, saatnya sedikit represing barengĀ Oom iniĀ di bilangan Sudirman. Mayan jauh, tapi toh ada transportasi ala Jakarta bernama transjakarta atau orang sering bilang busway.

Dari arah tempat urusan saya tadi, saya mesti berjalan kaki kurang lebih satu kilometer ke shelter busway terdekat. Jadilah saya berjalan kaki di Jakarta. Trotoar jelek, galian, parkir sembarangan, sebut sajalah. Sudah #biyasa saya hadapi. Lanjutkan membaca Kedutaan, Jalan Kaki, dan Jalan Aspal

Musim Hujan

Jakarta sudah mulai musim hujan lagi, mengingatkan saya akan bermulanya salah satu potongan kehidupan saya. Kehdupan yang yah… Kek rujak lah, macem-macem, gak begitu jelas, tapi dengan adanya bumbu-bumbu yang kebetulan tepat, bisa juga dibilang cukup enak.

Saya datang ke Jakarta raya ini untuk kembali menjadi pekerja saat musim hujan, hampir setahun yang lalu. Orang iniĀ adalah orang yang paling bertanggung jawab atas datangnya saya ke ibukota Indonesia ini (lagi).

Gak terasa, musim hujan sudah datang lagi, dan itu berartiĀ sudah berbulan-bulan hampir setahun, saya kerja di sini. Kerja di sebuah pojok Jakarta. Yang kalau kata salah seorang teman saya, kalau dilepas disini pun dia gak bisa pulang lagi. :mrgreen:

Dan lalu, saya dipanggil pulang oleh orang ini, untuk menjadi tandem sodara beliau lagi di kota kelahiran saya.

Dan lalu, saya pun bersiap, menyiapkan hati hati dan perasaan, untuk pulang. Yang ternyata tidak mudah, mempersiapkan diri untuk meninggalkan beberapa fragmen kehidupan saya yang terlanjur terbentuk di sini.

Ah iya, saya paling gak bisa packing šŸ˜†

Cerita Dari Pojok Jakarta

Sementara saya menulis ini, ada garis mati nulis manual buat anak-anak marketing kumpeni yang sungguh unyu bin kemampleng itu. Dan, meja sebelah muter musik 8 bit khas Mario Bros.

Yah kira-kira begitulah keadaan saya, sebagai pekerja rata-rata Jakarta. Bedanya, saya gak berada di gedung tinggi, tapi di salah satu pojok Kota Jakarta. Sunter namanya. Jakarta yang sekali lagi ndak ada Jakarta Jakartane blass.

Kok betah sih di Jakarta? Kalau aku sih sudah amit-amit ogah hidup di Jakarta. Macet, apa-apa mahal, kadang banjir, orang-orangnya gak asik. — Tanya seorang teman saya.

Mau maunya sih jadi pekerja? kalau saya sih ogah jadi pekerja, cuma nambah kaya pemilik perusahaan, hari Senin selalu hectic, waktunya terikat, gak bebas, yada yada yada — Tanya seorang teman saya yang lain.

Entahlah, pertanyaan pertanyaan itu kadang saya pikir semacamĀ ofensif. Secara gak langsung seperti pada bilang, your life sucks, mendingan hidup saya. Kira kiraĀ begitulah esensi yang saya tangkap dari batin tersensi saya.

Dan sayapun cuma bisa bilang, kepada orang-orang yang bahkan sebagian gak memberi saya makan itu…

Bot abote wong golek pangan mas…

Jadi, Bagaimana Hidup?

Harusnya, pengen bilang How’s life. Tapi keliatane kok keminggris ya? Jadilah diIndonesiakan. Mau bilang, jadi bagaimana kehidupan kok rasanya terlalu serius. Jadi, halah munyer. Begitulah akhirnya saya menjuduli posting ini.

Si hidup ini baik baik saja, ada sedikit badai dalam kehidupan, biasa lah. Terombang ambing sana-sini, ndak masyalah. Kalau seorang temen lama saya bilang, kalau nggak terombang ambing, hidup rasanya kurang nyeni.

Delapan bulan di ibukota Indonesia (lagi). Hati saya terbagi. Sebagian fragmen hati saya berada di Jogja bersama keluarga dan teman-teman baik saya. Dan sebagian fragmen hati saya berada di Jakarta, ibukota Indonesia bersama pekerjaan, angan-angan dan orang-orang baik yang banyak membantu saya.

Jadi, bagaimana hidup? Baik baik saja. Bagaimana hati dan pikiran? Itu yang saya juga tidak tahu…

Balada Lemper, Pastel dan Telor Rebus

Kalau ditanya, makanan apa yang menurut saya sangat istimewa? Bisa dipastikan jawaban saya adalah lemper,Ā  kue pastel dan telor rebus. Gak ada yang istimewa dari makanan ini bagi kebanyakan orang. Tapi bagi saya, ketiga makanan ini istimewa sekali.

Makanan yang biasa dijadikan gandulan (semacam buah tangan orang hajatan, diberikan pada tamu hajatan dengan tujuan untuk dinikmati di rumah) orang hajatan ini mempunyai cerita tersendiri di bagian kecil kehidupan saya, sehingga membuat makanan ini begitu istimewa dan menjadikannya salah satu makanan terenak versi saya.

Ada suatu waktu, dimana keluarga saya begitu pas pasan nya, hingga kami bisa makan layak 3x sehari pun terasa sangat mewah, gak peduli dengan lauk apa. Pokoknya bisa ganjel perut. Di waktu-waktu inilah, saya jarang bisa ketemu makanan istimewa, yang bisa dibilang enak, tidak seperti makanan saya biasanya. Sekalinya ketemu, bisa dipastikan itu adalah hasil dari kendurian atau hajatan, yang sering kali berupa satu kotak makanan berisi lemper, pastel, dan telur rebus.

Kini, keadaan saya mungkin sudah jauh lebih baik daripada masa-masa itu. Ketika saya sudah mulai bisa tersenyum simpul karena berhasil melewati masa-masa itu, tetap saja lemper, pastel dan telur rebus terasa begitu istimewa di lidah saya.

Istimewa memang tak selalu harus luar biasa.