Arsip Tag: sosial

Semacam Surat Terbuka Juga

Sepertinya beberapa waktu ini lagi ngetren pada bikin surat terbuka ya? Ada yang buat capres, ada yang buat pemilik media, ada yang buat siapalah itu lagi. Demi mengikuti tren saya juga akan membuat semacam surat terbuka juga. Istilahnya biar ngeheits.

Saya tidak akan membuat surat terbuka buat capres atau timsesnya? Disamping saya sedikit apatis soal capres-capresan hingga memilih untuk tidak berpartisipasi aktif di perkara ini, saya juga ragu, kalau saya bikin surat terbuka semacam ini bakal dibaca oleh sesiapa –kata apa lagi ini–  yang saya tuju. Jadilah saya mau bikin semacam surat terbuka ini buat teman-teman saya saja. Ada yang mau baca sukur, ndak ya wes lah. Setidaknya tujuan surat saya ini tak muluk. Lanjutkan membaca Semacam Surat Terbuka Juga

Bermain di Halaman

Muter muter liatin youtube, nemu yang begini ini. Padang Bulan, lagu Jawa lama, biasa dinyanyikan waktu terang bulan, waktu dimana anak-anak diberi kelonggaran, tidur agak malam dan bermain diluar.

[youtube http://www.youtube.com/watch?v=gqXZ0XAL6ro]

Dan, meskipun saya gak terlalu lama menikmati keriaan itu (saya ndak setua itu untuk menikmati keriaan tanpa televisi dengan lama, tak berapa lama dalam “masa pertumbuhan” saya, datanglah alat bernama televisi), tapi saya merindukan masa masa itu. Masa dimana bisa bermain diuar bersama teman dan tetangga dekat, masa dimana bisa bersosialisasi secara kaffah. Halah kaffah…

Yang jelas, saya kangen masa itu. Saya kangen masa kecil saya, yang sedikit berbeda dengan masa kecil anak-anak sekarang. Matur nuwun teman, saudara dan tetangga. Juga maturnuwun Sa’Unine, sudah mengingatkan saya akan masa kecil saya yang lumayan indah itu.

Apa Yang Mereka Bilang Itu Benar

Pernah gak terganggu, dengan orang yang membicarakan (seringnya) hal yang kurang baik dibelakang kita. Dibilang begini, begitu atau bagaimanalah. Mungkin sampeyan termasuk orang yang beruntung, atau mungkin memang bener-bener orang baik kalau tidak pernah.

Berbeda dengan saya, saya yakin, kalau sekali dua kali orang membicarakan saya dibelakang saya. Dan pastinya ada yang menurut common sense itu kurang baik.

Kesel, marah atau apapun, ketika orang lain berubah pandangan sehabis pembicaraan itu, wajar. Tapi balik lagi saya sadari. Seburuk apapun orang bilang tentang saya, ada sebagian yang pastinya benar. Denial adalah hal pertama yang terpikirkan oleh saya. Sekaligus, hal itu adalah hal yang paling mudah bisa saya lakukan. Tapi…

Hey, pada dasarnya mereka itu benar, hanya mungkin sedikit ditambah bumbu khas pergunjingan, sentimen dan miskomunikasi. Dan jadilah seperti apa yang mereka bilang. Dan, sekali lagi saya bilang, pada dasarnya…

Apa yang mereka bilang itu benar.

Cuma, kembali ke pilihan sampeyan, mau langsung percaya haqul yakin, atau bertanya dulu kepada saya, apa iya dan kenapa bisa begitu.

Hamid, karena batas free speech dan hate speech itu lebih tipis dari kelambu #melantip

Ngomong Sama Siapa?

Pernah melihat, mendengar atau membaca ini? Dimana saja, di warung, restoran, kafe, atau bahkan situs jejaring sosial?

Waah iPhone ini fiturnya keren, bisa bla bla bla… Kameranya bla bla bla… Aplikasinya bla bla bla…

Atau mungkin

Android ini asik, bisa diutak atik semau kita, responnya kenceng! Yada yada yada…

Masalah? Bagi saya sendiri tidak. Terutama kalau itu diomongkan di tempat yang pantes, dalam kafe yang agak mahal, dimana kira-kira semua orang bisa mengejar apa yang diomongkan. Ataupun kalau di dunia maya, diomongkan di group jejaring penggemar gadget, ataupun di mailing list yang temanya senada.

Menjadi menyebalkan apabila hal itu diomongkan di tempat yang kurang tepat. Di tempat yang punya audiens lebih general. Seperti akun twitter ataupun status facebook misalnya. Kenapa menyebalkan? Apa saya saja yang iri? Iya, saya iri. Dibilang begitu saya gak keberatan kok. Tapi pernah gak membayangkan ini:

Saya ngetwit: selamat pagi teman-teman iphonesian, motret apa hari ini? Atau mungkin: selamat pagi droiders, udah nyoba droid baru yang dual core? Sementara, ada satu atau dua follower saya yang masih ngetwit pake hape pas-pasan dengan harga ratusan ribu.

Ya tinggal di unfollow atau unfriend aja to kok repot? Hm, logika ini, selain saya anggap lucu, juga kurang bijak menurut saya. Tapi toh ini cuma menurut saya. Karena di bayangan saya itu seperti ngomong di suatu pertemuan, dan mengusir orang yang tidak nyaman dengan bahasan kita.

Halah Mid, mau ngiri aja belibet nulis panjang lebar…

Soal Pilihan dan Kemampuan

Beberapa waktu yang lalu, saya dan #kepalasuku ngobrol-ngobrol soal civilization. Agak aneh memang ketika enginear — ya enginear, nearly engineer — seperti kami ngomongken soal hal yang sangat sosial macam peradaban ini. Soal nyambung atau enggaknya, bermutu atau enggaknya itu urusan belakangan. Ya namanya obrolan pelepas suntuk, bukan kuliah. Hihihi.

Entah kesambet apa, kami sampai pada bahasan teori Arnold J. Toynbee soal challenge and response. Kurang lebihnya di teori itu dijelaskan, kalau peradaban berkembang karena merespon tantangan-tantangan atau kesulitan. Di Sumeria misalnya, karena siklus banjir, jadilah mereka menemukan irigasi. Atau di Indonesia sendiri, di Pulau Jawa, teknik bercocok tanam sedikit lebih maju daripada di pulau yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan atau Papua misalnya.

Lalu, sampailah kami pada kesimpulan. Kita, selalu mempunyai pilihan untuk pindah ketempat yang lebih nyaman, menghindari tantangan, dan membiarkan orang lain melakukannya, atau berpartisipasi dalam menjawab tantangan. Setiap orang mempunyai situasi dan kemampuan berbeda-beda. Itu yang perlu ditekankan. Kata-kata siapa suruh datang ke Jakarta, ataupun: sudah, balik kampung saja tanam jagung itu seharusnya tidak terucap karena setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri-sendiri, dan tentunya bisa mengukur kemauan dan kemampuannya sendiri-sendiri.