Arsip Tag: taksi

BII: Bank Inang-Inang

Kembali ke kota yang pernah dianggap fasis sempurna di salah satu tulisan berbahasa asing ini memberikan kesan tersendiri buat saya. Campur aduk macem-macem. Ada seneng, ada ruwet, ada semua lah. Di kota bernama Jakarta ini saya memang menyimpan beberapa cerita. Ah iya, saya hanya pengunjung musiman saja kali ini. Belum ada alasan atau pekerjaan lagi untuk membuat saya menetap di kota bundet yang serba ada ini.

Dari bandara kota ajaib ini — yang sebenarnya berada di kota sebelahnya, saya perlu ke sebuah daerah yang namanya mirip daerah asal tukang burjo. Saya menumpang taksi bertarif bawah. Dan duduklah saya di sebelah supir. Entah kenapa saya lebih senang duduk di depan. Hal yang tampaknya kurang lazim hingga kadang membuat beberapa supir taksi bingung.

Apakabar pak?

Dan beberapa percakapan basa-basi antara saya dan supir taksi yang bolehlah kita sebut saja Jono.

Jalanan agak biasa kali ini, tidak macet sadis. 30 sampai 45 menit perjalanan saja untuk menuju ke arah tujuan. Ndak terlalu lama. Tapi kalau diem thok ya ngakik juga. Jadilah Pak Jono dari Semarang ini saya ajak ngobrol ngalor ngidul.

Saya: Rame pak?
Jono: Yah begitulah mas, namanya bulan puasa. Kalau siang orang pada males keluar, kalau malam banyak tempat hiburan yang harus tutup.
Saya: Hari ini setoran sudah nutup?
Jono: Syukur lah mas, tinggal nyari lebihan buat dibawa pulang.
Saya: Ndak perlu ke BII dong ya?
Jono: (tertawa) kok mas e tahu BII?

Beruntung, pada suatu waktu saya pernah hampir tiap hari naik taksi. Dan hampir tiap hari juga saya ngajak ngobrol sang tukang taksi, karena tak jarang waktu bertaksi saya lumayan lama. Baik itu karena jarak, atau macet. Jadi sedikit banyak pengetahuan saya soal pertaksian ini jadi lumayan mumpuni –halah.

BII bukanlah bank nasional yang akhirnya dibeli bank luar negeri. BII adalah jargon populer diantara supir taksi, utamanya supir taksi setoran. BII kependekan dari Bank Inang-Inang, alias “bank” yang dijalankan personal, oleh orang per orang. Daerah operasi mereka tidaklah besar, paling satu pangkalan dan sekitarnya. Karena daerah operasi yang tidak besar, biasanya mereka hapal dan kenal dekat ke siapa-siapa saja yang ngutang, hingga tidak perlu menggadaikan barang ke mereka untuk mendapatkan pinjaman. Cukup dengan modal saling kenal dan percaya. Jasa yang harus dibayarkan ke BII ini memang sedikit lebih tinggi dari bank beneran. Tetapi fleksibilitas pembayaran dan kemudahan cairnya tak tertandingi! Lalu, kenapa akhirnya disebut BII? Ya karena yang menjalankan praktek ini hampir semuanya inang-inang.

Obrolan saya dengan Pak Jono melebar seru, banyak ngobrol ya ini ya itu, dan tak jarang disisipi sursol dari Pak Jono. Tak terasa sudah hampir sampai tempat tujuan saya.

Saya: Berhenti disana ya pak?
Jono: Siap! Mau ngapel ya mas?
Saya: Sembarangan! Darimana sampeyan bisa dapat kesimpulan semena-mena begitu?
Jono: Pas barusan masuk tadi saya denger obrolan masnya di telepon (sambil nyengir lebar)
Saya: Tak amini wae lah pak. Biar cepet.

Dan sayapun sampai. Kata-kata Pak Jono tadi masih terngiang. Dan tak tahu harus saya apakan. Mau diamini atau dibagemanakan…

Hamid, yang dunianya sedang terbolak-balik.