Semua tulisan dari Hamid

Pengen ngeblog tapi anu, selain lagi ribet, riweuh atau apalah itu. Selain itu apa ya? Agak bingung juga mau nulis apa. Di draft sih ada sebiji tulisan tentang kangen saya pada seseorang. Tapi keknya ndak pantes publish, wong saya we gilo mbacane :))

Just Like Your Everyday Girl

Just like your everyday girl, singing for you

Begitulah kira-kira kesan saya sewaktu mendengarkan album Skylar Grey iTunes Session. Album yang keluar tahun 2013 dan sayangnya, hanya tersedia di iTunes. Album ini nyanthol di telinga saya karena ke-biasa-an nya. Tidak seperti album lain, seorang artis menyanyi untuk kita dengan masalah-masalah buatan yang “wah”. Album ini sangat biasa, bahkan beberapa lagu terkesan sangat masyuk buat keseharian meskipun bukan orang Amerika. Sangat biasa seperti halnya dinyanyikan “your everyday girl” buat sampeyan. Tidak ngelondho, nggangster atau apalah yang biasa dibikin oleh artis-artis rap dan sekitarnya.

SkylarGrey iTunesSession (2013)Dan sekitarnya, kurang lebih begitu. Karena meskipun tidak ngerap, tapi Skylar Grey ini bisa dibilang dekat dengan artis-artis rap karena menciptakan lagu untuk beberapa artis rap kenamaan seperti Eminem misalnya. Kalau pernah tahu Love The Way You Lie, nah itu bikinan Skylar Grey ini. Selain menciptakan lagu, Skylar Grey juga menjadi featuring (ini Bahasa Indonesia nya apa ya?) di beberapa lagu rap / hiphop yang cukup kondang seperti I Need A Doctor nya Dr. Dre dan Where’d You Go nya Fort Minor ketika masih memakai nama aslinya, Holly Brook.

Skylar Grey iTunes Session ini dibuka dengan manis dengan lagu Back From The Dead. Lagu yang asik meskipun disini belum saya dapatkan ke-biasa-an nya. Masih terlalu ngelondho dan nggangster. Di track kedua, Grey menghadirkan Wear Me Out. Ini juga meskipun mulai menjadi biasa, masih terlalu ngelondho bagi saya, meskipun bagi beberapa orang yang hidupnya lebih rock and roll akan lebih relevan.

Don’t be fooled by your emptiness,
There’s so much more room for happiness

Begitulah potongan lirik di Track 3, Room For Happiness. Merdu dan menghibur terutama ketika sampai di tengah-tengahnya. Seperti sedang dihibur teman baik. Syahdu. Kesyahduan itu dilanjutkan dengan All I Want nya Joni Mitchell, sebuah lagu jadul tahun 70 an yang dinyanyikan ulang. Kejadulan ini dilanjutkan dengan C’mon Let Me Ride yang sungguh flirty. Track ini sangat berbeda dengan versi aslinya yang dinyanyikan bareng Eminem yang sungguh terkesan londho.

Di track ke 6, ada lagu favorit saya dengan judul Sunshine. Lagu ini membuat saya meleleh, terutama ketika sampai pada penggalan lirik ini:

Look at the sky there’s no need to cry
Ain’t got money but we got sunshine

Saya jadi membayangkan, ada seseorang yang sangat saya sayang berkata begitu. Ketika saya tidak kunjung juga berhasil. Ketika saya pulang dengan tidak juga membawa berita bagus, lalu ada yang berkata begitu dan seolah-olah bilang: sudahlah, tidak ada apa-apa… Duh. Ademp. Ini ada preview dari live nya. suaranya agak ancur terutama di nada nada yang ngebass, tapi setidaknya menggambarkan apa yang saya maksud, meski masih syahdu versi iTunes nya.

Track ke 7 berjudul White Suburban, meskipun menghibur dan tak kalah syahdunya dengan track lain, lagi-lagi berasa terlalu ng-Amerika. Shit, Man! yang menjadi track ke 8 ini agak istimewa. Ini seperti sampeyan diprotes sama orang yang sampeyan sayangi. Iki piye? Bagaimana ini? Kurang lebih begitulah. Sangat biasa, dan tidak ndakik.

Album ini ditutup dengan embuhnya di Track 9 dengan Love The Way You Lie. Lagu yang sepertinya tidak asing bagi banyak orang karena pernah ngeheits dinyanyikan Eminem dan Rihanna. Sedikit lebih slow dan menyayat ketika dinyanyikan oleh Grey. Sekali lagi bayangkan seandainya yang dinyanyikan. Mungkin sampeyan cuma bisa bilang:

Iya, maaf ya…

Halah… Wis lah, ndak tambah ngelantur ndak jelas ripiu ndak mutu ini. Sing jelas, saya suka album keluaran 2013 ini. Dan kalau sampeyan mungkin suka dan pengen beli juga, album ini bisa ditebus dengan harga 63 Ribu Rupiah di iTunes.

Let’s Talk! :D

Wah, judul yang sungguh keminggris ya? Kenapa bisa sampai menjuduli itu? Sayapun tak tahu. Mungkin karena bingung mau ngasi judul apa trus masih juga pengen terlihat keren. Jadilah judul keminggris itu dipilih. Wis langsung ke intine saja yah? Biar ndak tambah nglantur. Intine gini.

Sekitar Ramadhan lalu, saya menulis tentang bagaimana menyebarkan rejeki. Nah, tak berapa lama lalu, seorang kawan memulai gera’an, yaitu ngasih semacam seed funding untuk beberapa orang atau startup yang menurut sodara beliau menarik dan masuk akal. Semacam terinspirasi dari kawan itu, saya akan menawarkan hal yang sama. Semacam bantuan. Tapi tentunya bukan materi ya? Mengingat saya sendiri masih senen kemis begini kalau bicara soal pendapatan. Yang saya dapatkan setahun, mungkin hanyalah pendapatan sebulan bagi beberapa diantara sampeyan-sampeyan. Jadi sepertinya sangat ndak mungkin kalau dalam waktu dekat ini saya memberikan bantuan berupa materi.

Lha wong saya saja belum berhasil, apa iya saya bisa dipercaya? Lha itu sih terserah sampeyan, yang jelas saya punya niat. Selain itu, saya kenal beberapa orang yang mungkin bisa membantu. Apes-apesnya, sampeyan bisa belajar dari kesalahan saya, bagaimana keblondrok partner, salah mengambil keputusan dan sejenisnya, dan sejenisnya. Oh iya, saya sedikit mengerti soal server-serveran baik Windows atau nix based. Saya juga sedikit mengerti tentang menejemen. Selain itu satu dua teman saya banyak berpengalaman tentang startup startupan dan online-online an. Mungkin mereka juga bisa saya minta untuk membantu.

Silahken kontak saya, atau kalaupun tinggal funding yang sampeyan cari, boleh langsung ke kawan saya PriaMalas ini. Coba buat saudara beliau terkesan. Good luck! 😀

Tentang Kebebasan

Are you willing to sacrifice your freedom for economic welfare?

— sebut saja Ismet

Pertanyaan yang menggelitik pagi ini dari seorang teman yang juga idola saya Bang Ismet. Kata-kata itu mungkin saja berkaitan dengan kematian Lee Kuan Yew. Pemimpin Singapura yang telah berhasil membawa negara itu sebgai negara yang paling maju di sekitaran Asia Tenggara.

Mungkin sering kita dengar yang namanya American Dream. Di skala lokalan si American Dream itu bisa jadi menjadi Singaporean Dream. Banyak orang yang bermimpi mendapatkan kehidupan yang lebih baik di Singapura. Tak jarang juga dari mereka akhirnya bisa juga kesana, dan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik.

Singapura di bawah LKY memang berhasil menjadi negara yang relatif lebih maju dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa dibanding tetangga-tetangganya termasuk Indonesia. Tapi, Singapura juga dikenal sebagai negara yang ketat peraturannya. Hampir semua peraturan itu dibuat oleh LKY atau kroni-kroninya. Peraturan dibuat dalam sudut pandang mereka tentunya.

Jadi secara serampangan, bisa dibilang Singapura menjadi negara maju yang serba teratur dengan kesempatan besar mendapat penghidupan yang lebih baik, tapi dengan syarat yang tinggal dan bekerja disana agak berkurang kebebasannya.

Dan saya sendiri kalau ditanya hal seperti itu paling bakal jawab:

maybe, I’ll sell my freedom at certain price. But not for economic welfare, I guess

Halah. Enggres apa kui mid…

Homok Lu!

Kurang lebih seperti judul tulisan inilah hardikan saya pada salah seorang teman saya beberapa tahun lalu.

Tidak ada yang sakit hati. Pun teman saya yang saya hardik itu. Homo, atau kalau orang-orang sekarang biasa “memperhalus” nya dengan kata-kata gay, memang tak jauh-jauh dari kehidupan saya. Saya punya teman homo, homok, gay atau apapun lah sebutannya. Saya tak merasa harus menjauhkan mereka dari kehidupan saya. Tak ada alasan untuk itu. Terkecuali memang mereka melakukan hal-hal yang membuat saya harus menjaga jarak. Memaksa mengikuti “selera” mereka misalnya.

Saya menganggap itu semacam selera.

Ya, orientasi itu saya anggap semacam selera. Ada orang yang berselera seperti saya, ada juga yang berbeda. Selera siapa yang lebih baik? Tentunya bagi saya pribadi selera saya lebih baik dan lebih sehat.

Selera yang dalam pandangan saya lebih baik atau lebih sehat tak lantas membuat saya bisa dibenarkan untuk mendatangi gerai junkfood dan lantas memaksa penggemarnya untuk mengikuti selera sehat saya misalnya.

Akan sangat menyebalkan bagi saya bila dipaksa mengikuti kemauan atau selera orang lain. Tentunya hal itu juga berlaku untuk mereka. Soal resiko, tentunya orang-orang yang sudah dewasa tahu akan resiko apa yang dipilihnya.

Jadi selama…

Homok, gay, lesbi atau apalah itu di sekitar saya menghargai pilihan, dalam hal ini orientasi saya, belum ada alasan buat saya untuk menjauhkan mereka.

Oh iya, saya termasuk yang oke-oke saja perkara equality, tapi tidak oke ketika kesetaraan itu berubah menjadi kebanggaan.

Selamat merayakan Minggu.

Hamid, di sebuah malam dimana rumahnya mati lampu sementara tetangganya tidak.

Logo Saja Darurat

Entah kenapa makin lama Jogja semakin wagu. Semua orang makin serius. Keseriusen malah. Bayangpun, logo saja jadi dibikin darurat. Ah keseriusen!

Bicara soal hasilnya? Saya setuju sama temen saya Baba Iqbal Khan. Semacam… Mbladhus! :mrgreen:

Tentang Memilih

Belum lama ini, ada satu hal yang cukup mengganggu menurut saya. Perkara pilih memilih yang menyerempet perpulitikan. Lho? Ngomong politik? Wagu ya? Iya. Tapi apa yang akan saya sampaikan ini jauh lebih wagu. Setidaknya versi saya. Perkara pilih memilih dan hak untuk protes.

Beberapa orang, yang sebagiannya juga teman saya tampak kurang berkenan kalau orang yang tak memilih sewaktu pemilu menuntut hak dan memprotes pemerintahan. Mereka bilang itu tidak bertanggung jawab. Wong milih saja enggak kok protes.

Apa iya begitu ya? Berasa wagu kalau saya. Apa iya memilih adalah kewajiban? Setahu saya, Indonesia belum menjadi seperti Australia yang menjadikan memilih dalam pemilu adalah kewajiban, bukan hak. Kalaupun iya apakah hal tersebut menghilangkan hak bersuara dan menyatakan pendapat?

Wagu toh? Masa iya orang yang ndak bersuara sewaktu pemilihan umum lalu kehilangan hak bersuaranya kepada pemerintahan terpilih? Logikanya kok saya tidak nyandak. Dan oh iya, post ini mungkin terasa patah-patah dan lompat lompat. Maafkanlah ya, mbangane ra posting, rants pun akhirnya dijadikan postingan. Dan buat sodara-sodara semua yang sudah pengen misuh-misuh karena postingan ndak bermutu ini…

Ini ada foto Lantip

memilih lantip

Leren Bersama BPJS

Belum lama ini, setelah beberapa kali rawat jalan dengan beberapa kali gagal menemui dokter, mulai bosen, agak kendorlah saya melanjutkan proses pengobatan. Males, ribet, dan seterusnya dan seterusnya.

Sampai beberapa hari yang lalu di suatu Minggu yang lumayan cerah badan saya berasa kurang enak. Pergilah saya ke Fasilitas Kesehatan tingkat satu sesuai dengan yang tertera di BPJS saya. Sebuah klinik bernama Klinik Gading, tak jauh dari rumah saya. Lanjutkan membaca Leren Bersama BPJS

Dua

They treat you like a shit Mid. Terima aja.

Begitulah kata seorang teman kepada saya suatu waktu. Dengan sedikit prasangka baik, saya membela apa yang dia maksud dengan they.

“Ah, mungkin mereka lagi sibuk saja”, kata saya. “Toh tangan dan kaki mereka cuma dua, ndak bisa sekaligus di banyak tempat untuk ngurusin ini itu”, lanjut saya lagi.

“Iya, tangan dan kaki mereka cuma dua, tapi apa iya jumlah jam dalam hari mereka cuma dua, sampai segitunya gak ada waktu buat bertemu kamu sebagai temannya?”, kata si teman itu dengan nada datar. “Itu juga kalau kamu masih dianggap teman sama mereka”, lanjutnya tanpa ampun.

“People will avoid shit, not friend. Terima aja kamu dianggap gitu. Dianggap sampah bagi mereka. Kotor, bau, dan mengganggu”, lanjut si kawan ini. Dengan tanpa ampun dia menghajar sudut pandang saya.

“Tapi kan, mereka teman-te…”, kata saya tak selesai. Saya tak berani melanjutkan. Dan kami pun terdiam. Sementara otak saya berpikir keras mencari bahan untuk sekedar mengganti topik pembicaraan…