Entah kenapa makin lama Jogja semakin wagu. Semua orang makin serius. Keseriusen malah. Bayangpun, logo saja jadi dibikin darurat. Ah keseriusen!
Bicara soal hasilnya? Saya setuju sama temen saya Baba Iqbal Khan. Semacam… Mbladhus!
Entah kenapa makin lama Jogja semakin wagu. Semua orang makin serius. Keseriusen malah. Bayangpun, logo saja jadi dibikin darurat. Ah keseriusen!
Bicara soal hasilnya? Saya setuju sama temen saya Baba Iqbal Khan. Semacam… Mbladhus!
Belum lama ini, ada satu hal yang cukup mengganggu menurut saya. Perkara pilih memilih yang menyerempet perpulitikan. Lho? Ngomong politik? Wagu ya? Iya. Tapi apa yang akan saya sampaikan ini jauh lebih wagu. Setidaknya versi saya. Perkara pilih memilih dan hak untuk protes.
Beberapa orang, yang sebagiannya juga teman saya tampak kurang berkenan kalau orang yang tak memilih sewaktu pemilu menuntut hak dan memprotes pemerintahan. Mereka bilang itu tidak bertanggung jawab. Wong milih saja enggak kok protes.
Apa iya begitu ya? Berasa wagu kalau saya. Apa iya memilih adalah kewajiban? Setahu saya, Indonesia belum menjadi seperti Australia yang menjadikan memilih dalam pemilu adalah kewajiban, bukan hak. Kalaupun iya apakah hal tersebut menghilangkan hak bersuara dan menyatakan pendapat?
Wagu toh? Masa iya orang yang ndak bersuara sewaktu pemilihan umum lalu kehilangan hak bersuaranya kepada pemerintahan terpilih? Logikanya kok saya tidak nyandak. Dan oh iya, post ini mungkin terasa patah-patah dan lompat lompat. Maafkanlah ya, mbangane ra posting, rants pun akhirnya dijadikan postingan. Dan buat sodara-sodara semua yang sudah pengen misuh-misuh karena postingan ndak bermutu ini…
Ini ada foto Lantip
Belum lama ini, setelah beberapa kali rawat jalan dengan beberapa kali gagal menemui dokter, mulai bosen, agak kendorlah saya melanjutkan proses pengobatan. Males, ribet, dan seterusnya dan seterusnya.
Sampai beberapa hari yang lalu di suatu Minggu yang lumayan cerah badan saya berasa kurang enak. Pergilah saya ke Fasilitas Kesehatan tingkat satu sesuai dengan yang tertera di BPJS saya. Sebuah klinik bernama Klinik Gading, tak jauh dari rumah saya. Lanjutkan membaca Leren Bersama BPJS
They treat you like a shit Mid. Terima aja.
Begitulah kata seorang teman kepada saya suatu waktu. Dengan sedikit prasangka baik, saya membela apa yang dia maksud dengan they.
“Ah, mungkin mereka lagi sibuk saja”, kata saya. “Toh tangan dan kaki mereka cuma dua, ndak bisa sekaligus di banyak tempat untuk ngurusin ini itu”, lanjut saya lagi.
“Iya, tangan dan kaki mereka cuma dua, tapi apa iya jumlah jam dalam hari mereka cuma dua, sampai segitunya gak ada waktu buat bertemu kamu sebagai temannya?”, kata si teman itu dengan nada datar. “Itu juga kalau kamu masih dianggap teman sama mereka”, lanjutnya tanpa ampun.
“People will avoid shit, not friend. Terima aja kamu dianggap gitu. Dianggap sampah bagi mereka. Kotor, bau, dan mengganggu”, lanjut si kawan ini. Dengan tanpa ampun dia menghajar sudut pandang saya.
“Tapi kan, mereka teman-te…”, kata saya tak selesai. Saya tak berani melanjutkan. Dan kami pun terdiam. Sementara otak saya berpikir keras mencari bahan untuk sekedar mengganti topik pembicaraan…
Sebenere, ini bukan saat yang pas bagi saya buat memposting sesuatu di blog. Masih giduh sana-sini dan entahlah, saya sendiri malah bingung harus mulai memberesinya dari mana…
Tapi ndaktau juga, kenapa saya pengen banget ngepos soal laron ini. Epada tahu laron kan ya? Laron adalah sejenis binatang dari keluarga rayap. Mungkin tepatnya rayap yang bersayap. Sayapnya biasanya tidak awet, gampang sekali putus. Biasanya keluar di pagi atau sore menjelang malam hari. Merekaselalu mencari cahaya, mencari tempat terang dan mengacuhkan hal-hal redup di sekitarnya.
Reduplah, si laron bakul acuh tak acuh sama sampeyan, beri mereka cahaya, sampeyan akan didatangi meskipun hanya untuk mati.
Beberapa hal telewatkan dalam hidup saya. Karena kekeras kepalaan dan kadang faktor eksternal macam php –pemberi harapan proyek–. Entahlah, sa mesti ngumpat dan bilang asu, atau tertawa saja. Atau mungkin kedua-duanya.
iPhone 4S (bukan yang lebih baru, atau lama), Braun Buffel calf, Converse Jack Purcell, Kacamata minus bulat yang udah lupa apa merknya, NOKNbag edisi NOKNJam bareng Hendra Hehe, DP rumah sebelah barat pom bensin Bugisan, ngelamar anak orang, dan seterusnya dan seterusnya…
Banyak hal tidak bisa saya dapatkan nanti-nanti karena yah, mungkin sudah ndak diproduksi lagi, atau apalah semacam itu. Yang jelas kesempatan itu terlewat begitu saja. dan hampir bisa dibilang, ndak akan lewat lagi. Menyebalkan, tapi mungkin ini yang namanya belum jodoh.
Mbuhlah… menerawang
Beberapa waktu lalu dompet saya hilang, yang mana di dalamnya terdapat juga kartu kredit saya. Otomatis saya mengajukan blokir permanen terhadap kartu itu. Setelah saya ajukan blokir, terjadilah semacam perselisihan dengan bank penerbit kartu saya. Memang salah saya, pindah kerja ndak ngomong-omong. Sementara tempat saya bekerja yang baru, nomer telponnya ndak bisa dipake telpon karena speedy only dan alamatnya? Tidak ada… –hiduplah Bantul Raya! Jadilah pihak bank tidak mau mengirimkan kartu pengganti sebelum saya memberi mereka alamat jelas dan nomer telpon fixed line.
Karena banyak urusan lain yang perlu saya ribetkan selain kartu kredit yang limitnya gak seberapa itu, jadilah saya mencari alternatif lain. Salah satu alternatif yang paling gampang dan menyenangkan adalah BNI Debit Online. Produk ini memungkinkan melakukan transaksi online tanpa mengharuskan kita bikin kartu kredit yang ribet setengah mampus buat beberapa orang yang ndak terlalu ngganteng rekening bank nya kek saya ini. Kita bisa generate “kartu temporer” dan mendebitkan tagihannya dari rekening. Mudah bukan?
Kemudahan Yang Justru Membawa Petaka
Fasilitas yang tampak memudahkan itu, justru membawa keribetan lebih jauh buat saya. Beberapa hal yang saya harus bayar online memang bisa berjalan mulus, tapi beberapa hal malah bikin saya tambah puseng. Tak kurang dari Amazon, Steam, Play Store, ataupun iTunes tidak berjalan segampang seperti yang saya bayangkan karena sifat alamiah VCN yang hanya bisa dipakai sekali.
Di Amazon, saya dianggap fraud, karena sistem mereka tidak bisa mendebit lagi “kartu” yang saya sediakan ke mereka. Kerepotan yang terjadi? Saya harus mengirimkan fax paspor dan utility bills saya ke mereka. Iya, fax! Karena hanya fax lah yang mereka anggap “legit” dan mereka percaya kalau saya orang baik baik dan bukan frauder.
Di Steam, setiap kali saya add funds, saya harus menunggu seminggu sebelum bisa menggunakannya dengan tanpa batasan. Mereka menunggu selama seminggu, waktu yang aman bagi mereka untuk menunggu komplainan dari orang dan menyatakan saya bukanlah frauder.
Di Google Play / iTunes saya bahkan tidak bisa melakukan transaksi. Karena sistem otorisasi mereka yang mendebit sejumlah kecil dana untuk memverifikasi valid tidaknya kartu yang kita berikan. Sedang VCN hanya bisa digunakan satu kali debit saja.
Beberapa merchant seperti Rackspace bahkan menolak mentah-mentah VCN saya.
Lalu?
Dengan berbagai keribetan yang saya alami, saya tidak merekomendasikan BNI VCN, atau VCN lainnya kalaupun ada kepada sampeyan semua. Sifat VCN yang hanya bisa satu kali mendebit justru kemungkinan besar akan merepotkan sampeyan di kemudian hari.
Trus bagaimana? Ya coba saja bikin kartu kredit, bawa slip gaji sampeyan kalau punya. Kalau (sudah) ndak punya kek saya ya, coba mengajukan secure card dengan cara memblokir dana tabungan. BCA adalah bank yang saya tahu paling murah untuk urusan ini. Cukup dengan memblokir dana 3 juta. Sementara Bank Mandiri meminta blokir deposito 15 juta rupiah untuk mendapatkan secure card mereka. Dan sungguh, 15 juta itu bukan uang yang sedikit bukan?
Alternatif lain? Nunggu bank-bank membuka blokiran kartu debit mereka untuk transaksi online. Memang yang terjadi sekarang, logo Visa atau Mastercard di ATM sampeyan-sampeyan itu hampir tidak ada gunanya. Karena transaksi online mereka blokir dengan alasan keamanan. Masih kurang lucu? Beberapa bank malah memblokir juga transaksi yang terjadi di luar Indonesia, lagi-lagi dengan alasan keamanan. Pokoke, jangan percaya wis sama rayuan gombal brosur bank yang menyebutkan: kartu anda bisa digunakan di jutaan merchant berlogo Visa / Mastercard di seluruh dunia!
Hamid, yang lagi ribet karena pengen gampang.
Beberapa hari yang lalu, karena xbox kantor agraris yang rusak tak kunjung selesai dibenerin, jadilah saya dan Benx memutuskan untuk mencari hiburan lain. Karena saya yang merusakkan xbox itu belum ada duit buat ganti, jadilah kami pilih alternatif hiburan yang “terjangkau” dahulu. Kami memutuskan mau langganan TV! Entah kapan melihatnya nanti, pokoknya kami mau cari hiburan alternatip!
Setelah browsang-browsing dan membandingkan sana-sini, akhirnya diputuskan kami memilih BigTV. Biaya bulanannya paling terjangkau dibandingkan penyedia jasa tv berlangganan lain. Selain itu, mereka menjanjikan banyak channel HD. Sebagai penggemar teknologi abal-abal, janji surga HD membuat kami semakin tertarik. Dan jadilah kami memutuskan berlangganan. Mereka bahkan membuka pendaftaran lewat web! Jadilah saya memilih mendaftar lewat web dengan alasan praktis dan menghindari pungli dealer mereka dengan dalih “biaya aktivasi”.
Lho? Pungli? Iya, beberapa toko antene atau parabola yang saya hubungi meminta biaya pasang/aktivasi bervariasi. Paling murah saya temui 100 ribu dengan dalih biaya pasang, dan yang paling mahal 100 ribu untuk biaya pasang + 150 ribu untuk biaya aktivasi. Entah apa maksud mereka…
Lanjutkan membaca Pengalaman Memasang BigTV: BigTV dengan BigMess
Seorang teman, sebut saja Pakdhe Jauhari pernah berujar mengenai bis. Saya memang tidak mendengar langsung ujaran Pakdhe Jauhari itu. Ujaran itu sampai ke telinga saya karena di-rawi oleh teman baik saya Mas Aam. Begitu kurang lebih sanad nya. –Lho. Lhakok malah jadi kaya cah pondok
Intinya begini, saya mendengar ujaran Pakdhe Jauhari itu tidak langsung, tapi bisa dibilang saya percaya kalau memang beliau pernah berujar demikian. Ujaran beliau itu kurang lebih mengandaikan sebuah keputusan, –dalam perkara ini keputusan hidup– dengan keputusan naik bis.
Beberapa hari ini, saya kok jadi sering kepikiran, membayangkan yang tidak-tidak seandainya saya dulu begini, seandainya saya dulu begitu.
Pengen ini, pengen itu. Tapi kok ya, duh. Kepentok lagi sama keadaan. Hal-hal yang seharusnya bisa saya dapat atau laksanakan, kok ya malah masih di awang-awang.
Sepertinya saya harus melakukan sesuatu kali ini, mengurangi idealisme, memakai kacamata kuda dan berbuat untuk diri sendiri.
Hamid, yang kepikiran utang di sana-sini, harus ganti xbox kumpeni, dan juga rabi…